JAKARTA - Fenomena jual beli kendaraan bermotor melalui media sosial semakin beragam, salah satunya praktik transaksi kendaraan yang hanya disertai Surat Tanda Nomor Kendaraan tanpa Buku Pemilik Kendaraan Bermotor.
Praktik ini kian marak karena dianggap menawarkan harga lebih murah dan proses yang cepat. Namun di balik kemudahan tersebut, tersimpan berbagai risiko yang tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga berdampak sistemik terhadap industri pembiayaan.
Otoritas Jasa Keuangan menilai praktik jual beli kendaraan hanya dengan STNK tanpa BPKB perlu mendapat perhatian serius. Pasalnya, transaksi semacam ini berpotensi memicu sengketa kepemilikan serta meningkatkan risiko kredit, khususnya bagi perusahaan multifinance yang menyalurkan pembiayaan kendaraan bermotor.
Risiko Kepemilikan dan Kredit Jadi Sorotan OJK
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, menjelaskan bahwa maraknya praktik jual beli kendaraan tanpa BPKB membawa konsekuensi hukum dan finansial yang tidak kecil.
Menurutnya, kendaraan yang diperjualbelikan hanya dengan STNK berisiko menimbulkan sengketa kepemilikan di kemudian hari. Selain itu, praktik tersebut juga menciptakan risiko kredit bagi perusahaan pembiayaan yang tidak memegang agunan utama berupa BPKB.
"Fenomena itu, antara lain dipicu oleh harga yang lebih murah, kemudahan transaksi, dan kurangnya edukasi konsumen," katanya.
OJK menilai rendahnya pemahaman masyarakat terkait pentingnya dokumen kepemilikan kendaraan menjadi celah bagi tumbuhnya praktik transaksi tidak sesuai ketentuan. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengganggu stabilitas pembiayaan kendaraan bermotor.
Prinsip Kehati-hatian dan Edukasi Konsumen
Menanggapi kondisi tersebut, Agusman menegaskan bahwa perusahaan multifinance perlu tetap menerapkan prinsip kehati-hatian secara konsisten. Salah satu langkah utama adalah melakukan verifikasi dokumen secara memadai serta menjadikan BPKB sebagai agunan utama dalam pembiayaan kendaraan.
Selain penguatan internal perusahaan, peningkatan edukasi publik juga menjadi aspek yang tidak kalah penting. Agusman menekankan bahwa masyarakat perlu memahami risiko membeli kendaraan tanpa dokumen lengkap, baik dari sisi hukum maupun finansial.
Transaksi kendaraan bermotor idealnya dilakukan melalui jalur resmi dengan dokumen yang sah dan lengkap. Dengan demikian, hak dan kewajiban seluruh pihak dapat terlindungi, serta risiko kredit bermasalah dapat ditekan.
OJK memandang bahwa kolaborasi antara regulator, industri pembiayaan, dan pemangku kepentingan lainnya diperlukan untuk menekan praktik-praktik yang berpotensi merugikan ekosistem pembiayaan kendaraan.
Dampak Langsung ke Industri Pembiayaan
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, Suwandi Wiratno, menilai bahwa praktik jual beli kendaraan STNK only membawa dampak negatif yang nyata bagi perusahaan pembiayaan. Menurutnya, keberadaan komunitas jual beli kendaraan tanpa BPKB menjadi sumber risiko yang tidak bisa diabaikan.
"Adanya komunitas-komunitas jual-beli kendaraan STNK only itu berarti BPKB-nya tak ada. Kerugian bisa terkait dengan Non Performing Financing (NPF) yang meningkat. Skalanya pasti banyak, tetapi kerugiannya di masing-masing perusahaan," ungkapnya.
Suwandi menjelaskan bahwa meningkatnya risiko pembiayaan mendorong multifinance untuk memperketat proses persetujuan kredit. Akibatnya, standar penilaian menjadi lebih selektif demi menjaga kualitas portofolio pembiayaan.
Namun, pengetatan tersebut memiliki efek lanjutan yang tidak sederhana. Masyarakat dengan profil kredit yang sebenarnya baik berpotensi ikut terdampak karena tidak lolos seleksi yang semakin ketat.
Efek Berantai ke Penjualan Kendaraan
Suwandi menggambarkan kondisi tersebut dengan perbandingan sederhana. Menurutnya, jika sebelumnya dari sejumlah pengajuan kredit yang masuk sebagian besar masih bisa disetujui, kini jumlah persetujuan menjadi jauh lebih sedikit.
"Semisal, dahulu ada 10 aplikasi yang masuk, kemudian hanya 8 yang disetujui. Namun, sekarang hanya tinggal 4 atau 5 yang disetujui. Artinya, bisa saja orang yang tak disetujui itu sebenarnya adalah orang yang benar membayar. Suka tak suka, kami makin ketat dalam menyetujui kredit," tuturnya.
Ia juga mengakui bahwa maraknya praktik jual beli kendaraan hanya dengan STNK turut berimbas pada penurunan penjualan kendaraan. Ketika pengajuan kredit tidak disetujui, konsumen otomatis batal membeli kendaraan.
"Kalau ditanya apakah berimbas kepada total penjualan kendaraan baru? Ya, pasti," katanya.
Menyikapi kondisi tersebut, APPI telah melakukan berbagai langkah, mulai dari diskusi hingga dialog dengan pemangku kepentingan terkait. Bahkan, asosiasi telah mengirimkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Digital pada 22 Oktober 2025. Surat tersebut juga disampaikan kepada OJK, Kakorlantas Polri, GAIKINDO, serta AISI.
“Semua rangkaian ekosistem itu sudah dikabarkan bahwa ada komunitas yang mengganggu. Kami harus bersama-sama menindak semua komunitas-komunitas jual-beli kendaraan STNK only. Sebab, perusahaan pembiayaan juga portofolio terbesarnya dari pembiayaan roda empat dan roda dua,” ucap Suwandi.
Sebagai gambaran, data OJK mencatat piutang pembiayaan perusahaan multifinance mencapai Rp507,14 triliun per September 2025, tumbuh 1,07% secara tahunan. Adapun rasio Non Performing Financing gross berada di level 2,47%, membaik dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 2,51%.
Angka tersebut menunjukkan bahwa meski masih terjaga, potensi risiko tetap perlu diwaspadai di tengah maraknya praktik transaksi kendaraan tanpa dokumen lengkap.